(Proposal PI) Analisis Komparatif Resiko Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Konvesional Dan BPR Syariah
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bank Perkreditan Rakyat (BPR), menurut UU RI nomor 10 tahun 1998, adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Secara nasional kegiatan operasional BPR selama periode 1999–2003 (Maret) mengalami perkembangan yang cukup stabil. Berdasarkan data Bank Indonesia, selama periode tersebut, total asset bertumbuh dari Rp. 3.462 milliar menjadi Rp. 9.723 milliar, atau naik rata- rata 35 % per tahun, penyaluran kredit dari Rp. 2.452 miiliar menjadi Rp. 7.088 milliar (naik rata-rata 35,7 %), dana pihak ketiga dari Rp. 2.038 milliar menjadi Rp. 6.629 milliar (naik rata- rata 39,3 %). Selama periode tersebut, laba tahun berjalan terus bertambah. Yang menarik, jumlah penyaluran kredit melebihi jumlah dana pihak ketiga, berarti fungsi intermediasi keuangan ternyata dapat berjalan dengan baik. (Sawaldjo Puspopranoto, 2002, hal. 123) Industri BPR secara makro dinilai Bank Indonesia dalam kondisi cukup baik, karena hampir seluruh BPR menunjukkan kinerja yang baik dan hanya sebagian kecil yang di-BBKU- kan. Dari jumlah 2400 unit BPR, sejak 1996 hingga kini hanya 178 unit yang di-BBKU-kan oleh Bank Indonesia. Mengingat kondisi usaha yang dinilai bagus, Bank Indonesia melalui berbagai langkah antara lain merger, konsolidasi, akuisisi serta regulasi dan paket pengawasan yang lebih intensif berupaya menjadikan BPR menjadi basis untuk Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia. Dari tahun ke tahun, modal disetor BPR secara nasional terus bertambah. Tahun 2001, menurut data BI dalam buku BPR terbitan BI, modal disetornya Rp. 936 milliar, tahun 2002 jumlahnya bertambah 25 % menjadi Rp. 1,17 trilliun. Tahun 2003 naik 24 % menjadi Rp. 1,24 trilliun, dan per Maret 2004 jumlahnya mencapai Rp. 1,48 trilliun. Di daerah Sumatera Selatan, jumlah BPR telah mencapai 12 BPR, dimana diantaranya juga terdapat BPR Syariah. BPR lebih mengkhususkan diri ke arah pemberian kredit, sifatnya retail dan tidak kompleks seperti halnya bank umum. Keberadaan BPR dalam perekonomian nasional dan daerah sangat penting dalam upaya meningkatkan taraf hidup rakyat melalui penghimpunan dan penyaluran dana terutama kepada usaha kecil dan mikro. Tulisan ini mengkaji bagaimana tingkat resiko bisnis BPR Konvensional dan BPR Syariah di Sumatera Selatan.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat resiko bisnis BPR Konvensional dan BPR Syariah.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis tingkat resiko bisnis BPR Konvensional dan BPR Syariah.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah
- Masyarakat pembaca mengetahui perbandingan tingkat resiko keuangan/bisnis BPR Konvensional dan BPR Syariah.
- Sebagai masukan bagi manajemen BPR dalam menyusun kebijakan perusahaannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 1 menyebutkan batasan Bank adalah badan usaha yang menghimpun dan dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut Undang- undang tersebut dan dipertegas lagi dengan Undang-undang RI nomor 10 tahun 1998, ada dua jenis bank yaitu : Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) BPR dilarang untuk menerima simpanan giro, wilayah operasinya hanya tertentu saja, modal awalnya relatif lebih kecil dari bank umum, dan tidak diperkenankan ikut dalam kliring serta transaksi valuta asing. (Kasmir, 2003, hal. 21). Tugas pokok BPR adalah mengembangkan persekonomian rakyat di daerah, terutama pedesaan, bagi golongan ekonomi lemah, dengan membantu pembiayaan, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Dalam melaksanakan fungsinya, BPR melakukan kegiatan- kegiatan :
Menghimpun dana jangka pendek, menengah, dalam bentuk Tabungan dan Deposito.
- Pembinaan dan pembiayaan dunia usaha, khususnya membantu pengembangan usaha
- Golongan ekonomi lemah.
- Memobilisasikan dana masyarakat sebagai sumber pembangunan di daerah.
Memberikan pembiayaan jangka pendek, menengah dan panjang kepada perusahaan- perusahaan perorangan untuk keperluan pembangunan, produksi, rehabilitasi, dan modernisasi.
Penyertaan dalam modal yang tidak bersifat tetap, dengan persetujuan dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Melakukan kerja sama sesama bank dan Lembaga Keuangan. Menjalankan usaha-usaha perbankan lainnya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dan Undang-Undang yang berlaku. Untuk BPR Syariah ditambah Syariah Islam.
2.1. Perbedaan Sistem Bank Konvensional dan Bank Syariah
Perbedaan kedua system dapat dilihat dari sisi penghimpunan dan penyaluran dana. Dari sisi penghimpunan dana kedua sistem perbankan ini bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat. Namun dalam system syariah dimaksudkan untuk memobilisasi dana masyarakat yang belum tersentuh oleh perbankan konvensional, karena adanya masalah bunga. Dalam pembiayaan atau penyaluran dana, sistem perbankan konvensional menekankan pada hubungan antara debitur dan kreditur, sedangkan sistem syariah lebih menekankan pada prinsip keleluasaan dalam akad kredit dan kemitraan.
2.2. Persamaan Sistem Bank Konvensional dan Bank Syariah
Persamaaan kedua sistem perbankan tersebut terletak pada teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer, syarat-syarat umum untuk memperoleh kredit, misalnya KTP, NPWP, proposal, laporan keuangan dan lainnya.
2.3. Produk/Jasa yang ditawarkan Bank Konvensional dan Bank Syariah
Secara umum ada tiga bagian besar produk yang ditawarkan Bank konvensional dan Bank Syariah :
- Produk Penghimpunan Dana (funding)
- Produk Penyaluran Dana (financing); dan
- Produk Jasa (services)
2.3.1. Bank Konvensional
Produk penghimpunan dana antara lain adalah giro, tabungan dan deposito. Penyaluran dana dapat berbentuk kredit konsumsi, kredit investasi dan kredit modal kerja. Sedangkan produk jasa berbankan konvensional, misalnya jasa konsultansi, pengurusan transaksi ekspor dan impor, valuta asing, dan lainnya.
2.3.2. Bank Syariah
Penghimpunan dana pada bank syariah menerapkan prinsip Wadi’ah dan Mudhararabah. Prinsip Al-Wad’ah yaitu serbagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip. Prinsip Al-Wadiah (trust depository) dapat di bagi atas Al-Wadiah Yad Amanah dan Al-Wadiah Yad Adh Dhamanah. Aplikasi konsep Al-Wadiah Yad Amanah dalam bank syariah adalah pihak yang menerima titpan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, jadi harus dijaga sesuai dengan kelaziman. Dalam ini penerima titipan dapat membebankan biaya titip kepada penitip. Konsep Al-Wadiah Yad Adh Dhamanah, dalam konsep ini pihak yang menerima titipan boleh menggunakan uang atau barang yang dititipkan, tentunya pihak Bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan bonus kepada penitip. Prinsip Mudharrabah penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal (syahibul mall), bank sebagai mudharrib (pengelola dana). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah, mudharrabah dimana kedua hasil ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan mudharrabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun Mudharrabah terpenuhi sempurna ada mudharrib, ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagihasilkan, ada nisbah dan ada ijab Kabul. Prinsip ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka. Penyaluran dana pada bank Syariah dilakukan melalui pembiayaan dengan prinsip jual beli, pembiayaan dengan prinsip sewa, dan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Prinsip pembiayaan dengan jual beli dilaksanakan sehubungan dengan perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barangnya, yaitu sbb :
- Pembiayaan Al Murabahah (Ba’i). Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahan sedangkan pembayaranm dilakukan dengan cara cicilan. Contoh, pembiayaan konsumtif dalam pembelian kenderaan bermotor, rumah atau investasi modal kerja.
- Salam, yaitu jual beli dilakukan dimana pembeli memberikan uang terlebih dulu terhadap barang yang telah disebutkan spesifikasinya dan diantarkan kemudian. Biasanya digunakan untuk produk-produk pertanian berjangka pendek.
- Istishna’, merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang, dalam kontrak itu pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran dilakukan dimuka, melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu dimasa datang. Contoh transaksi bank sebagai penjual kepada pemilik proyek, pembeli atau mensubkan kepada sub kontraktor.
- Prinsip pembiayaan dengan sewa (ijarah). Pada prinsipnya sama dengan jual beli tetapi perbedaannya pada jual beli objek transaksi adalah barang, tetapi pada ijarah objek trsansaksinya adalah jasa. Pengertian resiko menurut Silalahi (1997), dikutip dari Husien Umar (2001, hal 5) adalah :
- Resiko adalah kesempatan timbulnya kerugian
- Resiko adalah probabilitas timbulnya kerugian
- Resiko adalah ketidak pastian
- Resiko adalah penyimpangan aktual dari yang diharapkan
- Resiko adalah probabilitas suatu hasil akan berbeda dari yang diharapkan
Sedangkan manajemen resiko adalah suatu cara yang proaktif, terkoordinasi, bernilai efektif, dan memahami pemrioritasan dalam menanggulangi ancaman terhadap perusahaan. Menurut Hampel, et.al (1994:88) resiko perbankan dipengaruhi oleh lingkungan, sumberdaya manusia, layanan keuangan, dan neraca. Berdasarkan karakteristik perbankan tersebut, maka resiko terdapat diklasifikasikan atas: environmental risks (resiko lingkungan), management risks (resiko manajemen), delivery risks (resiko operasi), dan financial risks (resiko keuangan). Resiko keuangan dapat ditelusuri melalui analisis rasio keuangan dan analisis diskriminan keuangan. Menurut Hempel (1994: 89), cara mengukur dan mengelola resiko keuangan (financial risks) perbankan, sebagai berikut:
1. Resiko kredit dapat diatasi dengan cara :
- Melakukan analisis kredit secara baik dan benar;
- Dokumentasi kredit
- Pengendalian dan pengawasan kredit
- Penilaian terhadap resiko khusus
2. Resiko Likuiditas dapat diatasi dengan cara :
- Membuat perencanaan likuiditas
- Membuat rencana kontingensi
- Analisis biaya dan penentuan bunga kredit
- Pengembangan sumber pendanaan
3. Resiko Suku bunga dapat diatasi dengan cara:
- Membuat analisis kepekaan bunga terhadap aktiva
- Membuat analisis durasi, penilaian bunga antar waktu
4. Resiko leverage dapat diatasi dengan cara:
- Membuat perencanaan modal
- Analisis pertumbuhan usaha berkelanjutan
- Memantapkan kebijakan dividen
- Melakukan penyesuaian resiko terhadap kecukupan modal
2.3.3. Rasio-rasio Keuangan Bank
Rasio-rasio keuangan bank dapat dikelompokkan atas rasio-rasio likuiditas, rasio-rasio solvabilitas, dan rasio-rasio rentabilitas (profitabilitas), sebagai berikut :
a. Rasio Likuiditas
Rasio ini bertujuan untuk mengukur seberapa likuid suatu bank. Ada beberapa jenis rasio dalam rasio likuiditas, yaitu :
- Assets to Loan Ratio
- Cash Ratio
- Loan to Deposit Ratio (LDR)
b. Rasio Solvabilitas
Rasio ini bertujuan mengukur efisiensi bank dalam menjalankan aktivitasnya. Beberapa jenis ratio dalam solvabilitas ratio yaitu :
- Capital Ratio
- Capital Risk
- Capital Adequacy Ratio
c. Rasio Rentabilitas
Rasio yang bertujuan untuk mengukur efektivitas bank mencapai tujuannya. Beberapa jenis rasio dalam rentabilitas ratio yaitu :
- Gross Profit Margin
- Net Profit Margin
- Return on Equity Capital
2.3.4. Analisis Diskriminan (Z-Score)
Analisis Z-score dikembangkan oleh Prof. Edward Alman dengan tujuan untuk mendeteksi apakah suatu perusahaan dalam kondisi diambang kebangkrutan (financial distress). Metode ini disebut juga dengan multiple discriminant analysis (Emery & Finnerty, 1998: 884). Oleh karena itu analsis ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat resiko keuangan suatu perusahaan.
Untuk menghitung Z-Score ini terlebih dahulu harus menghitung lima jenis rasio keuangan, yaitu;
- Working Capital to Total Assets Ratio (X1)
- Retained Earning to Total Asset Ratio (X2)
- Earning Before Interest & Taxes to Total Asset (X3)
- Market Value of Equity to Book Value of Debt (X4)
- Sales to Total Asset Ratio (X5)
Untuk menganalisis hasil perhitungan model Z-score, digunakan angka interpretasi yang dikembangkan oleh Prof. Edward Altman, sebagai berikut :
Score
Z > 2.99
1.81 < Z < 2.99
Z < 1.81
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Metode penelitian dikategorikan studi kasus, karena membahas suatu objek penelitian secara rinci dan mendalam.
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi sampel berjumlah 12 BPR, terdiri dari 11 BPR Konvensional dan 1 BPR Syariah. Dari populasi tersebut penulis mengambil 2 sampe BPR, yaitu satu BPR Konvensional dan satu BPR Syariah. Selanjutnya sampel BPR yang diteliti diberi kode nama BPR Konvensional “S” dan BPR Syariah “F”. Adapun tennik pengambilan sampel dilakukan secara purpossive sampling, dengan alasan hanya ada saru BPR Syariah dan untuk kesesuaian diambil pula satu BPR Konvensional.
3.3 Variabel- Variabel Penelitian
Variabel-variabel utama penelitian adalah pos-pos dalam Neraca terdiri dari: Kas, giro, kredit yang diberikan, aktiva tetap dan aktiva lain, kewajiban segera, tabungan, deposito, pinjaman, dan ekuitas. Pos-pos dalam Daftar Rugi/Laba : pendapatan bunga, beban bunga, pendapatan operasi lainnya, pendapatan non operasi, beban non operasi, pajak dan laba bersih.
3.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di 16 Ilir Palembang dan Kelurahan Sukajadi di Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara mempelajari data sekunder, yaitu laporan keuangan BPR Konvensional “S” dan BPR Syariah “F”.
3.6 Teknik Analisis
Analisis analisis rasio keuangan dan analisis diskriminan keuangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uraian Singkat BPR Sampel
PT. Bank Perkreditan Rakyat Konvensional “S” berlokasi di kawasan Pasar 16 ilir Palembang yang beroperasi sejak tahun 1990. Sesuai ketentuan pemerintah, bentuk badan hukum BPR adalah Perseroan Terbatas. Sasaran utama operasi bank ini adalah para pedagang kecil dan mikro yang berada di kawasan Pasar 16 ilir, Beringin Janggut, TP Rustam Effendi, dan sekitarnya. Kegiatan yang dilakukan adalah menerima simpanan dan menyalurkan kredit modal kerja dan investasi bagi usaha kecil dan mikro tersebut. Disamping itu juga memberikan kredit konsumsi kepada debitur tertentu. Modal ekuitas (saham) BPR sebesar Rp 3 milyar dan telah disetor penuh.
PT. Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah “S” berdiri dengan akte Notaris Amunis Akte No. 2 tanggal 7 Januari 1994 dan mulai beroperasi Januari 1995. BPR ini berlokasi di kelurahan Sukajadi, kecamatan Talang Kelapa, kabupaten Banyuasin. Modal dasar BPR sebesar Rp 500 juta dan telah disetor penuh. Sasaran utama operasi bank ini adalah para pedagang kecil dan mikro, usaha kerajinan batubata, genteng, petani, peternak yang berada di kelurahan dan desa- desa di Kecamatan Talang Kelapa. BPR ini menerima simpanan dan menyalurkan kredit modal kerja dan investasi bagi usaha kecil dan mikro tersebut. Disamping itu juga memberikan kredit konsumsi kepada debitur tertentu dengan prinsip syariah.
4.2. Perkembangan Keuangan
Perkembangan keuangan kedua bank sampel, yaitu BPR konvensional “S” dan BPR Syariah “F” disajikan dalam bentuk laporan Neraca dan Daftar Rugi/Laba selama 3 (tiga ) tahun yaitu periode 2001-2003.
4.2.1. Neraca dan Rugi/Laba BPR Konvensional “S”
Total aktiva BPR konvensional “S” selama tiga tahun mengalami fluktuasi, pada tahun 2001 berjumlah Rp 16,3 milyar, turun menjadi Rp 15,2 milyar dan kemudian naik lagi menjadi Rp 17,8 milyar. Penurunan pada tahun 2002 disebabkan oleh pos-pos : surat berharga turun sebesar Rp 5 milyar dan aktiva lain-lain sekitar Rp 200 juta.
Data diatas menunjukkan adanya peningkatan pendapatan bunga selama tahun 2001-2003, di mana pendapatan bunga tahun 2001 sebesar Rp 1,3 milyar, naik menjadi Rp 2,2 milyar dan tahun 2003 Rp 2,4 milyar. Demikian pula pendapatan non operasional dan beban non
operasional menunjukkan adanya peningkatan. Laba bersih mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2002 sebesar Rp 1,1 milyar, meningkat dibanding tahun 2001, tetapi kemudian turun menjadi Rp 958,7 juta pada tahun 2003.
4.2.2. Neraca dan Rugi/Laba BPR Syariah “F”
Total aktiva BPR Syariah selama tiga tahun mengalami fluktuasi, pada tahun 2001 berjumlah Rp 2,6 milyar, turun menjadi Rp 1,5 milyar dan kemudian naik menjadi Rp 1,69 milyar. Penurunan pada tahun 2002 disebabkan oleh pos-pos: penempatan pada bank yang mengalami penurunan hampir sebesar Rp1,2 milyar dan penurunan penyaluran pinjaman sebesar Rp 40 juta.
Data rugi/laba menunjukkan adanya peningkatan pendapatan bagi hasil pada tahun 2002 dibanding tahun, yaitu meningkat dari Rp 213 juta menjadi Rp 238 juta, sedangkan pada tahun 2003 turun menjadi Rp 227 juta. Demikian pula laba bersih mengalami peningkatan tahun 2002 dibanding tahun 2001, yaitu meningkat dari Rp 53 juta menjadi 86 juta, sedangkan tahun 2003 mengalami penurunan dibanding tahun 2002, yaitu turun menjadi Rp 80 juta.
Secara umum rasio-rasio likuiditas BPR Konvensional “S” menunjukkan perbaikan pada tahun 2002 dibanding tahun 2001. Rasio aktiva terhadap pinjaman menunjukkan tingkat likuiditas yang cukup memadai, karena di atas 100 persen. Rasio kas terhadap kewajiban segera pada tahun 2002 dan 2003 kurang dari 100 persen yang perlu menjadi perhatian pimpinan BPR. Demikian pula rasio antara kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun (loan to deposit ratio) kurang baik, yaitu tahun 2001 sebesar 38%, tahun 2002 78% dan tahun 2003 sebesar 62 persen. Menurut ketentuan BI rasio ideal antara 85% s.d 105%, berarti rasio LDR masih relatif rendah. Kondisi ini menunjukkan kemampuan BPR menyalurkan kredit masih perlu ditingkatkan, karena dana yang menganggur akan menjadi beban bagi BPR atas bunga simpanan yang yang harus dibayar kepada penabung. NPL tahun 2001 sebesar 7,34% di atas batas maksimum yang ditetapkan oleh BI, namun dalam tahun 2002 dan 2003 turun menjadi masing-masing sebesar 4,54% dan 4,24 persen. Rasio-rasio solvabilitas menunjukkan kondisi yang cukup sehat. Rasio CAR berdasarkan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2/UD tanggal 29 Mei1993 tentang Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8 persen. Dari tabel di atas CAR BPR Konvensional “S” di atas 8%, yaitu masing-masing tahun 2001 sebesar 23,29%, tahun 2002 sebesar 28,79% dan tahun 2003 sebesar 23,95%. Demikian pula perbandingan modal dengan hutang masih di atas 8 persen. Secara teori, menurut Winton (1993) adanya ketentuan CAR tersebut mempunyai kaitan dengan keterbatasan tanggung jawab dan struktur kepemilikan dalam suatu perusahaan. Dalam struktur kepemilikan, sebagian harta perusahaan diperoleh dari dana pinjaman kepada kreditur, sehingga perlu diimbangi dengan kemampuan pemilik modal menyediakan dana sendiri. Rasio-rasio rentabilitas yang dinyatakan dengan rasio-rasio net profit margin, ROE, dan ROA menunjukkan adanya kenaikan pada tahun 2002 dibanding tahun 2001, sedangkan tahun 2003 mengalami penurunan dibanding tahun 2002. Semua rasio rentabilitas adalah positip. Laba bersih terhadap pendapat operasi (NPM) cukup baik, di mana tahun 2001 sebesar 38%, tahun 2002 sebesar 52,77% dan tahun 2003 sebesar 39,73 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa BPR Konvensional “S” cukup sehat.
Rasio-rasio solvabilitas menunjukkan kondisi yang cukup sehat. Rasio CAR BPR Syariah “F” di atas 8%, yaitu masing-masing tahun 2001 sebesar 23,64%, tahun 2002 sebesar 43,34% dan tahun 2003 sebesar 37,92%. Keadaan ini lebih baik dibandingkan dengan rasio solvabilitas BPR Konvensional “S. Rasio-rasio rentabilitas yang dinyatakan dengan rasio-rasio NPM, ROE, dan ROA menunjukkan adanya kenaikan pada tahun 2002 dibanding tahun 2001, sedangkan tahun 2003 mengalami penurunan dibanding tahun 2002. Keadaan ini hampir sama dengan rasio rentabilitas BPR Konvensional. Rasio NPM cukup baik, di mana tahun 2001 sebesar 24,93%, tahun 2002 sebesar 40,24% dan tahun 2003 sebesar 35,37 persen. Keadaan ini menunjukkan bahwa NPM BPR Syariah relatif lebih rendah dibanding dengan BPR Konvensional “S”. Hal ini memberikan indikasi bahwa BPR Konvensional “F” realtif lebih efisien dalam pengelolaan dananya.
4.5.1. Analisis Diskriminan BPR Konvensional “S”
Hasil perhitungan Z-score menunjukkan bahwa selama tiga tahun nilai Z sekitar angka 1,81, yang berarti kondisi BPR Konvensional “S” perusahaan dalam keadaan “gray” sehingga sulit ditentukan apakah akan sehat atau bangkrut. Namun karena di bawah 2,99 maka dapat dikatakan bahwa tingkat resiko bisnis BPR tinggi yang dapat menyebabkan kepailitan dalam jangka panjang.
4.5.2. Analisis Diskriminan BPR Syariah “F”
Hasil perhitungan Z-score menunjukkan bahwa selama dua tahun terakhir (2002-2003) nilai Z di atas 1,81, yang berarti kondisi BPR Konvensional “S” perusahaan dalam keadaan “gray” sehingga sulit ditentukan apakah sehat atau akan bangkrut. Namun nilai Z-score BPR Syariah “F” ini relatif lebih tinggi dibanding nilai yang dicapai oleh BPR Konvensional “S”.
4.6 Pembahasan
4.6.1. Likuiditas
Secara umum rasio-rasio likuiditas BPR Syariah “F” relatif lebih baik dibanding BPR Konvensional “S”. Rasio aktiva terhadap pinjaman menunjukkan tingkat likuiditas yang cukup memadai, jauh di atas 100 persen. Rasio kas terhadap kewajiban segera pada tahun 2001 dan 2003 kurang dari 100 persen. Demikian pula rasio antara kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun (loan to deposit ratio) tahun 2002 dan 2003 cukup baik, karena mendekati standar rasio ideal antara 85% s.d 110% yang ditetapkan BI. Nonperforming Loan (kredit bermasalah) pada BPR Syariah “F” relatif lebih rendah dibanding dengan NPL BPR Konvensional “S”. Pada BPR Syariah “F” hanya sekitar 2 persen, sedangkan BPR Konvensional rata-rata sekitar 4 persen pertahun.
4.6.2. Solvabilitas
Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) kedua BPR di atas ketentuan minimum BI (8%). CAR pada BPR Konvensional “S” tahun 2003 sebesar 23,95% dan BPR Syariah “F” sebesar 37,92%. Dari angka tersebut ternyata rasio solvabilitas BPR Syariah relatif lebih baik dibandingkan dengan rasio solvabilitas BPR Konvensional “S.
4.6.3. Rentabiltas
Semua rasio rentabilitas kedua BPR adalah positip. Laba bersih terhadap pendapat operasi (NPM) cukup baik, di mana pada BPR Konvensional “S” sebesar 39,73 persen, dan pada BPR Syariah “F” sebesar 35,37% pada tahun 2003. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR Syariah “F” relatif lebih rendah dibanding dengan BPR Konvensional “S”. Hal ini memberikan indikasi bahwa BPR Konvensional “S” relatif lebih efisien dalam pengelolaan dananya.
4.6.4. Tingkat Resiko Keuangan
Perbandingan tingkat resiko keuangan/bisnis menggunakan hasil analisis diskriminan (Z-score) menunjukkan kedua BPR berada pada posisi “gray”. Namun nilai Z BPR Syariah “F” relatif lebih tinggi dibanding BPR onvensional “S”. Rendahnya Z- score (di bawah 2,99) mengindikasikan bahwa kedua bank berada pada posisi bisnis beresiko tinggi dan bila tidak dilakukan pengelolaan bisnis secara baik dapat menyebabkan kepailitan dalam jangka panjang.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Secara umum rasio-rasio likuiditas BPR Syariah “F” relatif lebih baik dibanding BPR Konvensional “S”.
Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) kedua BPR di atas ketentuan minimum BI (8%). CAR pada BPR Konvensional “S” tahun 2003 sebesar 23,95% dan BPR Syariah “F” sebesar 37,92%. Dari angka tersebut ternyata rasio solvabilitas BPR Syariah relatif lebih baik dibandingkan dengan rasio solvabilitas BPR Konvensional “S.
Semua rasio rentabilitas kedua BPR adalah positip. Laba bersih terhadap pendapat operasi (NPM) cukup baik, di mana pada BPR Konvensional “S” sebesar 39,73 persen, dan pada BPR Syariah “F” sebesar 35,37% pada tahun 2003. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR Syariah “F” relatif lebih rendah dibanding dengan BPR Konvensional “S”.
Perbandingan tingkat resiko keuangan berdasarkan hasil analisis diskriminan (Z-score)
menunjukkan kedua BPR berada pada posisi “gray”. Namun nilai Z BPR Syariah “F”
relatif lebih tinggi dibanding BPR Konvensional “S”, yang berarti resiko BPR “F” relatif
lebih rendah dibanding BPR Konvensional “S”.
5.2 Saran-Saran
1. Upaya Mengatasi Rendahnya LDR dapat dilakukan oleh manajemen BPR dengan cara :
- BPR harus memiliki tenaga account officer yang memadai jumlahnya, handal, jujur, profesional, dan berdedikasi tinggi untuk mengejar proyek-proyek yang layak untuk dibiayai.
- Tenaga account officer harus mengenal wilayah kerjanya dengan baik, potensi bisnis yang ada, pebisnis, tokoh masyarakat, dan sosial ekonomi serta kultur masyarakatnya.
- Kebijakan pemberian kredit yang prudential (hati-hati), patuh dan sehat berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
- Penyaluran kredit secara kelompok dengan sistem tanggung renteng bagi para debiturnya.
- Penerapan reward system yang dapat memotivasi para account officer dan analis kredit untuk lebih giat dalam “menjemput” calon debitur yang potensial dan layak untuk dibiayai.
2. Upaya manajemen untuk mempertahankan NPL rendah dapat dilakukan dengan cara :
- Melakukan analisis kredit secara baik dan benar
- Sistem dokumentasi kredit yang handal.
- Pengendalian dan pengawasan kredit, sistem pemantauan dan evaluasi secara rutin terhadap rekening piutang atau kredit debitur.
- Manajemen memberikan perhatian khusus terhadap adanya penyimpangan (management by exception) yang terjadi.
- Setiap penyimpangan dilakukan analisis 5 W + 1 H (what, when, where, why, who & how) agar diperoleh umpan balik bagi perbaikan kebijakan operasional BPR untuk masa datang. 6) Pembinaan terhadap debitur usaha kecil dan mikro, bekerjasama dengan dinas instansi terkait, dan perguruan tinggi.
3. Upaya mengatasi resiko keuangan dapat ditempuh manajemen BPR dengan cara sebagai berikut :
- Membuat perencanaan likuiditas dengan sistem anggaran kas (cash flow) harian atas kemungkinan penyetoran dan penarikan oleh nasabah.
- Membuat rencana kontingensi guna mengatasi kejadian yang tak terduga, yaitu dengan melakukan analisis terhadap perubahan dan dinamika kondisi lingkungan bisnis BPR dengan mengkaji indikator: ekonomi, peta persaingan bisnis, perubahan budaya, dan situasi politik dan keamanan.
- Melakukan analisis terhadap biaya dana dan penentuan bunga kredit atau beban bagi hasil yang akan ditetapkan atas kredit konsumsi, kredit investasi, dan kredit modal kerja.
- Melakukan alternatif pengembangan sumber pendanaan BPR, baik dana dari sumber internal maupun ekternal BPR.
nice info
ReplyDelete