Monday 27 May 2013

POlitik Yesus Dan Panggilan Profetik Gereja


POLITIK YESUS DAN PANGGILAN PROFETIK GEREJA [1]



1. Catatan Awal.

Panitia meminta saya untuk membawakan pokok dalam diskusi ini tentang Refleksi Panggilan Profetik Gereja di Bidang Politik. Saya senang dengan pokok ini. Namun rasanya pembicaraan tentang panggilan profetik gereja di bidang politik terlampau tendensius. Seolah-olah politik itu kotor dan tidak bermoral, apalagi dari perspektif iman Kristen. Padahal politik itu sendiri sebagai wacana tentang cara bertindak adalah hal yang  netral. Seperti halnya dengan ekonomi dan wacana lainnya. Ia baru menjadi tidak netral ketika  pada tataran praxisnya. Karena itu, untuk menghindari tendensi  seperti ini saya ingin membicarakan panggilan profetik gereja di bidang politik tersebut dalam sebuah konteks perpolitikkan tertentu. Sebab baru pada tataran konteks perpolitikkan tertentu kita bisa memberikan evaluasi etis dan moral. Dalam tataran inilah kita boleh  berbicara tentang panggilan  profetik gereja di bidang politik. Dengan kata lain, kita hanya dapat  berbicara tentang panggilan profetik gereja (penilaian etis dan moral) di bidang politik dalam suatu kontek perpolitikkan tertentu. Dan bukan suatu penilaian etis dan moral secara umum.  Kebetulan kita hidup di Indonesia, maka pilihan saya jatuh pada konteks perpolitikkan di Indonesia. Hal ini penting supaya kita tidak melakukan generalisai bahwa politik itu kotor dan tidak bermoral.
Itu pun  masih memberi kesan tendensius juga, bahwa seolah-seolah perpolitikkan di Indonesia mainnya sangat kotor dan tidak bermoral. Apa benar begitu? Apa kriteria kita untuk menilai bahwa perpolitikkan di Indonesia itu mainnya sangat kotor dan tidak bermoral?

2. Politik Machiavellian versus Politik Yesus.


Kita boleh berbeda pendapat tentang realitas praktek perpolitikkan di Indonesia selama ini. Untuk kepentingan diskusi kita di sini---dan juga sesuai dengan pokok yang minta kepada saya---maka saya kan menggambarkan perwatakan praktek perpolitikkan di Indonesia dewasa ini dengan perwatakan praktek perpolitikkan Yesus. Kita tidak mungkin  berbicara tentang panggilan profetik gereja di bidang politik tanpa melakukan perbandingan perwatakan praktek perpolitikkan tersebut. Sebab Yesus sendiri sebenarnya melakukan tindakan-tindakan yang bersifat  politis. Pelayanan Yesus terhadap mereka miskin, lapar, mengalami diskriminasi baik etnis maupun agama adalah tindakan politik.  Hanya saja perwatakan  tindakan politik Yesus itu berbeda dengan perwatakan tindakan politik para politisi pada zaman itu. Juga berbeda dengan perwatakan tindakan politik para politisi dewasa ini.

Cukup jelas dari  berbagai pemberitaan  di media massa dan bahkan pengalaman nyata kita semua bahwa perwatakan praktek perpolitikkan di Indonesia dewasa ini telah menjadikan manusia sebagai bahan komoditas. Dagang manusia di Indonesia sangat laku dan murah. Mereka yang mempunyai banyak uang dapat membeli manusia. Perhatikanlah bagaimana isyu tentang "politik uang" (money politics) baik itu pada tingkat grass-rootdalam bentuk "serangan fajar menjelang hari H-nya  pemelihan umum"[3] maupun pada tingkat elite politik dalam bentuk apa yang disebut oleh Christianto Wibisono dengan "one dolar, one vote."[4]  Politik ini kita sebut saja politik machiavellian.[5] Politik seperti ini tidak mempersoalkan apakah cara-cara yang dipakai itu sehat secara moral atau tidak. Tidak mempersoalkan apakah cara-cara seperti itu menista kemanusian. Pokoknya asalkan tujuanku tercapai. Cara tidak penting. Yang penting adalah hasilnya. Titik. Tujuan menghalkan cara. Rasanya berbagai kerusuhan dewasa ini dapat dikatakan sebagai manifestasi dari praktek perpolitikkan machiavellian. Dalam politik machiavellian kerusahan dan kematian adalah modal politik dalam sebuah market poltik. Semakin banyak terjadi kerusuhan dan semakin banyak orang yang mati  semakin kuat modal politikpara politisi a'la machiavellian. Dalam politik machiavellian berlakulah prinsip apa yang dikatakan Thomas Hobbes: homo homini lupus.[6]


Berbeda dengan politik Yesus. Politik Yesus adalah politik hati nurani.[7] Politik Yesus ini dinyatakan dengan melayani mereka yang lemah dan tidak berdaya . Politik Yesus adalah politik pelayanan. Poltik yang melayani mereka yang membutuhkan untuk dipulihkannya harkat dan martabat mereka karena kemiskinan dan ketidakadilan sosial dan  politik. Cerita Yesus memberi makan lima ribu orang adalah cerita yang bersifat politis (bdk.Mrk. 6:30-43).[8] Politik Yesus bukanlah politik menipulatif. Politik Yesus tidak untuk memanipulasi  kelemahan dan penderitaan orang banyak demi untuk kepentingan dirinya  atau kelompoknya. Politik Yesus adalah politik  pengabdian dan pelayanan bagi kemanusiaan. Bukan dalam bentuk retorika belaka, tapi dalam bentuk tindakan nyata. Ia justru mengorbankan diri-Nya sendiri bagi mereka --yaitu: dengan jalan rela disalibkan. Kematian Yesus adalah sebuah kematian politis. [9] Bagi Yesus lebih baik berkorban daripada mengorbankan orang lain. Inilah politik salib. [10] Di sini jelas bahwa Yesus adalah seorang politisi yang berhati nurani, berbeda dengan para politisi a'la machiavellian. Mereka---seperti diuraikan tadi---lebih suka jika orang lain yang menjadi korban. Ia juga seorang politisi yang menghendaki perdamaian dan pulihnya harkat dan martabat manusia. Itulah sebabnya Ia menolak untuk  mendendam mereka yang menyalibkan-Nya. Malahan Yesus berdoa kepada Bapa-Nya agar mereka diberi pengampunan. "Ya Bapa, ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." ( Luk. 23:34).





3. Gereja sebagai "Tanda Profetik" bagi Tegaknya Kemanusian.

Kritik  terhadap Gereja-gereja dewasa ini bahwa  Gereja-gereja lebih sibuk mengurusi dirinya sendiri.[11] Celakanya kesibukan itu terkuras dengan mengurusi berbagai bentuk ibadah formalnya yang secara routin dilaksanakan dalam batas-batas  tembok  gedung Gereja dan pertemuan-pertemuan ibadah di rumah-rumah warga jemaat. Gereja lantas menjadi pusat doa dan penyembahan. Gereja menjadi persekutuan tubuh Kristus yang sibuk mengurusi persekutuan-persekutuan doa dan penyembahan. Hidup menggereja identik dengan ibadah routin setiap hari Minggu dan berbagai bentuk dan jenis ibadah lainnya [ pemuda, kaum Bapa, kaum Ibu, dll]. Memang ada baiknya persekutuan doa dan penyembahan dalam kehidupaan jemaat.Namun celakanya ialah bahwa persekutuan doa dan penyembahan kehilangan elan profetiknya. Persekutuan doa dan penyembahan menjadi sebuah formalisme.  Persektuan doa dan penyembahan umat Kristiani yang kehilangan elan  profetik dalam masyarakat, hanya akan menjadi pelaku "blue-print" pembangunan politik a'la machiavellian. Persektuan doa dan penyembahan seperti ini  hanya akan menjalankan fungsi legitimasi terhadap praktek perpolitikkan yang merendahkan harkat dan martabat manusia.  Gereja dengan bermacam-macam upacara keagamaan dan serimonialnya tidak dapat lagi berfungsi sebagai sumber inspirasi spiritual yang transformatif, melainkan hanya menjadi apa yang disebut oleh Yesus "mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang, namun mengabaikan keadilan dan belas kasihan sebagai inti pati dari hukum taurat" (bdk. Mts.23:14,23). Atau seperti apa yang dikatakan oleh nabi Yermia bahwa gereja adalah "bait Tuhan yang tidak lagi didiami oleh Tuhan" (bdk. Yer.7:4-7).

Gereja harus berada sebagai Tubuh Kristus baik dalam ibadah maupun dalam solidaritas bersama dengan mereka yang berjuang untuk hidup yang lebih adil dan manusiawi.[12]  Sebab Gereja sebagai tubuh Kristus justru dipanggilan untuk menjadi "tanda-profetik" di mana kehadiran Allah dialami sebagai Allah yang membebaskan dan membela keadilan dan kebenaran dalam konteks aspirasi untuk pembebasan dan perjungan bagi kehidupan yang lebih adil, benar dan manusiawi. Gereja dipanggil untuk menjadi bentara Kerajaan Allah dalam konteks kekuatan-kekuatan politik di dalam  masyarakat yang tidak bermoral begitu dominan sehingga  terciptalah struktur-struktur kekuasaan yang opresif  dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Gereja terpanggil untuk menjadi pendamping bagi mereka yang dikalahkan dan dimanipulasi, dengan menyerukan kehendak Allah,tanpa eufemisme, agar politik yang bermoral ditegakkan, sehingga memungkinan manusia  hidup sesuai dengan keluruhan harkat dan martabatnya sebagai gambar Allah (bdk. Kej. 1:26).

Dalam konteks perpolitikkan di Indonesia dewasa ini panggilan  profetik yang paling utama hendak diperankan oleh gereja-gereja di Indonesia ialah (a) memperjuangkan suatu tatanan kemasyarakatan yang demokratis-emansipatoris dan (b) memberdayakan rakyat  untuk lebih sadar tentang kehidupan mereka sebagai kehidupan yang mulia. Kedua peran profetik pokok ini jauh lebih penting daripada peran profetik verbalistik. Peran profetik ini akan membedakan gereja dari para demagog politik di dalam masyarakat. Para demagog politik lebih suka memainkan retorika daripada berperilaku politik yang bermoral dalam kehidupan sehar-hari. Seperti halnya Yesus dan para nabi---gereja harus mendorong  runtuhnya tatanan kemasyarakatan yang digerogoti oleh mentalitas feodalistik dan narsistis dan menolong kelahiran sebuah tatanan kemasyarakatan yang lebih demokratis dan emansipatoris.  Dan perlu disadari bahwa tatanan kemasyarakatan yang demokratis dan emansipatoris hanya mungkin apabila setiap individu atau rakyat di dalam masyarakat  sadar bahwa kehidupan mereka adalah kehidupan yang mulia. Karena itu pula gereja perlu menyatakan peran profetik itu dengan menjadi "pendamping proses penyadaran."  Ibadah jemaat seharusnya menjadi tempat berlangsungnya "proses penyadaran." Doa dan penyembahan seharusnya menjadi "sumber inspirasi bagi proses penyadaran."  Jika hal inilah yang  terjadi maka  seluruh kehidupan gereja dapat menjadi kritikkan terhadap perwatakan perpolitikkan di Indonesaia masakini----yaitu: perwatakan perpolitikkanh yang manipulatif dan menjadikan rakyat hanya komoditas  politik serta kesengsaraan rakyat menjadi kapital/modal politik para demagog politik.

4. Pentutup.

Demikianlah berapa catatan pengatar diskusi kita yang dapat saya sampaikan. Saya berharap apa yang kemukakan di sini akan merangsang kita untuk lebih meningkatkan gairah untuk terus menerus berpikir secara kritis dalam kehidupan ini. Terutama sekali terhadap berbagai bahaya perwatakan praktek perpolitikan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Panggilan kita semua adalah membangun kehidupan ini secara lebih adil, beradab, benar dan manusiawi. Namun di tengah-tengah perwatakan praktek perpolitikan yang anti-keadilan, kebenaran, dan peradaban yang manusiawi tidak mungkin kita  berbuat banyak tanpa bersikap kritis terhadapnya.
Akhirnya, lebih dan kurang mohon dimaafkan. Sekian dan terima kasih.



No comments:

Post a Comment